Monday, February 3, 2014

Urban Farming Sebuah Gaya Hidup

Ayo kawan kita berkebun... menanam jagung di kebun kita...
Ambil cangkulmu...
Masih ingat penggalan lagu itu, bukan? Ya, Kegiatan berkebun memang mengasyikkan. Apalagi jika kita ingat dulu, saat masih di sekolah dasar. Pelajaran berkebun dan bercocok tanam menjadi pelajaran yang cukup diminati. Biasanya murid-murid senang karena merupakan sebuah pengalaman baru.

Namun, kondisinya kini jauh berbeda. Terbatasnya lahan, membuat kegiatan yang satu ini semakin sulit ditemukan. Orang yang melakukannya pun lebih banyak di pedesaan ataupun di daerah-daerah pinggiran kota.

Sementara di kota seperti Jakarta, berkebun merupakan kegiatan langka. Jika kita lihat sekeliling, tak ada lagi lahan kosong. Di kanan-kiri jalan telah berderet rumah gedong. Tak jauh disana, gedung tinggi menjulang. Jika sudah begitu, di mana ya, kita bisa berkebun?

Berdasarkan literatur, berkebun ternyata bisa dimana saja. Bahkan memanfaatkan lahan kososng yang sempit pun masih dimungkinkan. Konsep ini kemudian di kenal dengan sebutan ”Urban Farming” atau berkebun di kota dalam bahasia indonesianya.

Beberapa jenis tanaman yang bisa ditanam di lahan sempit seperti: kacang panjang, cabai, tomat, sawi, melon, dll. Biasanya setelah bosan dengan jenis tanaman yang itu-itu saja, setalah panen tak ada salahnya mencoba jenis tanaman lain, tergantung kesukaan.

Apa Itu Urban Farming?

Kegiatan Urban Farming atau berkebun di kota muncul sebagai jawaban atas kegelisahan masyarakat menyikapi semakin terbatasnya lahan di kota-kota besar. Tingkat polusi yang makin parah dan minimnya kawasan hijau membuat kota semakin gersang.

Kesadaran ini yang memunculkan gerakan urban farming di kota-kota besar di seluruh dunia. Secara umum Urban Farming merupakan kegiatan pertanian yang dilakukan dengan memanfaatkan lahan sempit di perkotaan. Kegiatan Urban Farming mencakup kegiatan produksi, distribusi, hingga pemasaran produk-produk pertanian yang dihasilkan.

Martin Bailkey, seorang dosen arsitektur landscape di Wisconson Madison, AS membuat definisi Urban Farming sebagai Rantai industri yang memproduksi, memproses dan menjual makanan dan energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen kota. Semua kegiatan dilakukan dengan metoda using dan re-using sumber alam dan limbah perkotaan.

Urban Farming dilakukan sebagai kegiatan untuk menghasilkan pendapatan bagi petani, khususnya bagi mereka yang mata pencarian utamanya dari bertani. Sedangkan bagi masyarakat kota yang getol mengembangkan Urban Farming, kegiatan ini dilakukan sebagai bagian dari rekreasi.

Sejarah Urban Farming

Urban Agriculture sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu, tepatnya di Machu Pichu di mana sampah-sampah rumah tangga dikumpulkan menjadi  satu  dan dijadikan pupuk. Air yang telah digunakan masyarakat dikumpulkan menjadi sumber pengairan melalui sistem drainase yang telah dirancang khusus oleh para arsitek kota di masa itu.

Pada Perang Dunia II di Amerika dicanangkan program “Victory Garden” yaitu membangun taman di sela-sela ruang yang tersisa. Program ini merupakan cikal bakal gerakan urban farming. Dari program tersebut pemerintah Amerika Serikat mampu menyediakan 40% kebutuhan pangan warganya pada waktu itu.

Perhatian akan manfaat Urban Agriculture menjadi berkembang ketika masyarakat di berbagai belahan dunia menyadari  bahwa semakin hari pertumbuhan penduduk semakin besar dan kebutuhan akan makanan juga bertambah, sementara luas lahan pertanian semakin berkurang. Maka mulailah lahan-lahan kosong di daerah perkotaan dipakai sebagai tempat bercocok tanam. Mulai dari lahan satu meter persegi di depan rumah hingga atap-atap gedung-gedung pencakar langit, kini dimanfaatkan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan Urban Farming.

Urban farming selain mengasyikkan juga membantu memberikan kontribusi terhadap ruang terbuka hijau kota dan Ketahanan pangan. Bisa di bayangkan jika setiap gedung mengadopsi kegiatan urban farming. Jakarta tentunya akan semakin hijau dan adem.

Jakarta Kini

Pembangunan di Jakarta dalam beberapa dedake memang menunjukkan perubahan drastis. Akibatnya, lahan yang ada habis digunakan oleh sektor permukiman, bisnis, dan industri. Karena itu, saat ini luas lahan yang tersisa di DKI Jakarta tinggal tersisa 30 persen saja.

Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah provinsi ingin mengoptimalkan lahan yang sudah ada dan tidak berniat melakukan penambahan bangunan-bangungan besar. Pasalnya, jika tidak berhati-hati dalam melaksanakan pembangunan fisik akan berakibat fatal.

Penduduk yang mencapai 15 ribu jiwa per satu kilometer menjadi salah satu penyebab banyaknya pembangunan fisik. Di satu sisi memang bagus untuk menggenjot perekonomian daerah. Namun faktanya ada banyak dampak negatif, dan itu harus dihentikan.

Dari sekian banyak konsep, salah satu yang mulai ditawarkan pemerintah adalah dengan membangun gedung berkonsep green building dan itu bisa dilakukan di mana saja.

Konsep dimana bangunan ramah lingkungan didorong menjadi tren dunia bagi pengembangan properti saat ini. Bangunan ramah lingkungan ini punya kontribusi menahan laju pemanasan global dengan membenahi iklim mikro. Hanya saja, secara umum, belum banyak gedung di Jakarta yang mengadopsi program ini.

Manfaat Berkebun di Kota

Di sadari atau tidak, ada banyak alasan mengapa warga ibukota disarankan berkebun. Hanya saja, persoalan komunikasi dan informasi sering jadi alasan mengapa hanya sedikit orang yang melakukannya. Padahal setiap orang pasti menginginkan lingkungan yang sehat. Beberapa manfaat tersebut adalah:

Pertama adalah untuk menyegarkan udara yang ada di sekeliling kita. Pasalnya, pepohonan berfungsi sebagai menghisap karbondioksida (bahan polutan) dan mengeluarkan oksigen.

Kedua, bercocok Tanam di Perkotaan akan memenuhi kebutuhan pangan, khsusunya sayur mayur dan buah-buahan dengan kondisi yang terjamin. Kebanyakan produksi sayur dan buah yang dihasilkan dari Urban Farming menggunakan pupuk organik yang tidak meninggalkan residu di tubuh.

Ketiga, berkebun dapat menyegarkan mata dan pikiran. Jika sedang penat, kita bisa keluar untuk menikmati pemandangan hijau yang tersaji di depan mata.

Keempat, makanan hasil Urban Farming ternyata lebih bercitarasa. Mereka yang telah mempraktekkan bercocok tanam di Perkotaan mengatakan bahwa ini memberi  kepuasan tersendiri bagi mereka. Seperti banyak hobi bermanfaat yang lain, para petani perkotaan mendapatkan bahwa bercocok tanam telah memberi sebuah nilai tambah pada mereka terlepas dari manfaat pokok yang diberikan.

Kelima, yng tidak kalah berharga adalah, kita dapat membantu mengurangi laju pemanasan global. Berkebun adalah hal yang sepele namun manfaatnya segudang.

Keenam, kegiatan berkebun di kota akan mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk transportasi ketika memindahkan produk tersebut dari pedesaan. Artinya, kita juga akan menghemat penggunaan BBM dalam jangka panjang.

Ketika segudang manfaat terebut bisa dicapai dengan kegiatan berkebun di tengah kota, sekaranglah saatnya mencoba. Bingung ingin memulai dari mana? Tenang saja, ada banyak buku yang mengulas tema Urban Farming di pasaran atau jika di rasa kurang, tak ada salahnya berselancar di di dunia maya.



by milazone.com